Daftar Blog Saya

Senin, 02 Agustus 2021

SISTEM HORMONAL DAN SIKLUS REPRODUKSI PADA KUDA BETINA

SIKLUS REPRODUKSI KUDA BETINA

 Oleh : Nadia Rahma



I.                   PENDAHULUAN

Kuda merupakan salah satu ternak yang mempunyai nilai ekonomis, selain sebagai sumber protein hewani kuda juga dijadikan sebagai ternak pekerja dan digemari masyarakat Indonesia dalam perlombaan kesenian seperti pacu kuda. Perkembangan ternak kuda di Indonesia masih belum begitu baik. Menurut data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Aceh Tengah diperoleh informasi bahwa terjadi penurunan populasi kuda yang cukup drastis dari tahun 2010-2014. Analisis eksponensial menunjukkan bahwa ternak kuda akan terancam punah pada tahun 2037. Pengurangan jumlah tersebut disebabkan oleh tingginya permintaan daging kuda tanpa disertai peningkatan populasi. Permasalahan ini juga berkaitan dengan pola reproduksi pada ternak kuda. Pengetahuan dan penelitian mengenai siklus reproduksi dan pola hormonal pada kuda masih belum sepopuler dari pada ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.

Pola hormonal kuda betina tidak jauh berbeda dengan ternak ruminansia, tetapi yang menarik pada kuda betina adalah terdapat hormone khusus yang tidak terdapat pada ternak ruminansia, yaitu PMS (Pregnant Mare Serum) yang dihasilkan oleh sel-sel khusus pada plasenta kuda bunting. Hormon PMS ini diduga mengandung banyak FSH dan sedikit LH yang berperan penting selama periode kebuntingan. Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pola hormonal dan siklus reproduksi pada kuda betina sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi pembaca dalam pengembangan kuda betina.


 

II.                PEMBAHASAN

2.1.       Kuda

Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) adalah salah satu spesies modern mamalia dari genus Equus. Hewan ini merupakan salah satu hewan peliharaan yang penting secara ekonomis dan historis, dan telah memegang peranan penting dalam pengangkutan orang dan barang selama ribuan tahun. Kuda telah memainkan peran yang luas dalam kebudayaan manusia. Hewan ini pertama kali dimanfaatkan sebagai hewan tunggangan oleh suku-suku pengembara (nomaden) di padang rumput dan gurun Asia Tengah dan Utara. Selain itu juga dijadikan sebagai hewan penarik.


Berikut adalah klasifikasi ilmiah Kuda :

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Kelas               : Mamalia

Ordo                : Perissodactyla

Famili              : Equidae

Genus              : Equus

Spesies            : E. caballus

(Sumber : Linnaeus, 1758)

2.2.       Anatomi Fisiologi Reproduksi Kuda Betina

Anatomi Organ Reproduksi Kuda Betina


a.              Ovarium

Ovarium kuda betina memiliki dua fungsi yaitu, fungsi gametogenik sebagai penghasil sel telur dan fungsi endokrin sebagai penghasil hormon reproduksi yang berperan penting dalam keberhasilan proses reproduksi.

b.             Tuba Falopii

Tuba Fallopii pada kuda terdapat sepasang dengan panjang 25-30 cm, berhubungan langsung dengan cornua uteri (Morel, 2002). Tuba Fallopii dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu isthmus yang paling dekat dengan cornua uteri berdia-meter 2-5 mm, ampula yang berdekatan dengan ovarium berdiameter 5-10 mm dan infundibulum yang berhubungan langsung dengan ovarium. Fertilisasi terjadi di ampula tuba falopii.

c.              Uterus

Panjang badan uterus (corpus uteri) kuda betina adalah 25 cm, tanduk 8 – 10 cm. Uterus kuda merupakan sruktur memanjang yang menghubungkan cervix dengan tuba Fallopii. Uterus dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian badan atau corpus dan tanduk atau cornua. Corpus uteri pada kuda normal panjangnya 18-20 cm dan diameter 8-12 cm. Bagian cornua panjangnya 25 cm dengan diameter 4-6 cm pada pangkal cornua 1-2 cm pada saat mendekati tuba Fallopii. Ukuran uterus dipengaruhi oleh usia dan seringnya partus. Tipe uterus kuda disebut uterus simpleks bipartitus karena ukuran corpus uteri lebih besar dari cornua uteri dengan perbandingan 60 : 40 (Morel, 2002 dalam Jamalia, 2006).

d.             Serviks

Servik kuda secara relatif halus tetapi menjulur cukup jauh arah kaudal menuju vagina (Manan, 2002). Cervix terletak di belakang corpus uteri, berupa dinding yang tebal, dan kuat. Cervix berfungsi mengisolasi uterus dari lingkungan luar selama kebuntingan dengan membentuk barrier berupa mucus yang sangat kental. Pada stadium diestrus kuda dewasa yang tidak aktif, cervix berkontraksi sangat kuat, berwarna putih dengan panjang 6-8 cm dan diameter 4-5 cm, sekresi cervix sedikit dengan konsistensi kental. kondisi otot dan ukuran cervix sangat dipengaruhi oleh perubahan homonal (Morel, 2002 dalam Jamalia, 2006).

e.              Vagina

Pada ternak kuda vagina berukuran panjang 20 – 30 cm dan diameter 10 – 13 cm (Toelihere, 1985). Vagina kuda mempunyai panjang 18-23 cm dan diameter 10-15 cm. Pada bagian dalam tubuh vagina diselimuti oleh peritoneum dan dikelilingi jaringan ikat longgar, lemak dan buluh darah. Vulva merupakan organ paling luar dalam saluran reproduksi. Bagian dalam dilapisi membran mukous dan berhubungan dengan vagina. Bagian atas vulva (dorsal comissure) berjarak 7 cm dari anus, sedangkan bagian bawah (ventral comissure) terdapat clitoris (Morel, 2002 dalam Jamalia, 2006).


2.3       Siklus Reproduksi Kuda Betina

Kuda pada umumnya memiliki siklus estrus normal 21-22 hari. Pada dasarnya aktifitas reproduksi kuda dipengaruhi oleh photoperiod, yang berarti kuda hanya berahi pada musim panas yang memiliki intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi. Indonesia yang beriklim tropis, mendapat cahaya matahari sepanjang tahun. Hal ini berarti, kuda di Indonesia dapat bersiklus estrus sepanjang tahun tanpa manipulasi ataupun perlakuaan tertentu.

Siklus estrus merupakan periode antara ovulasi yang berurutan dengan kisaran waktu antara 10 sampai 37 hari, rata-rata 21 sampai 22 hari. Hal  yang membedakan pada siklus estrus kuda adalah saat  estrus itu sendiri yang relative lama (Blakely dan Bade, 1995). Ciri-ciri kuda estrus yaitu posisi berdiri kaki belakang mengangkang tanda siap dinaiki pejantan, mengangkat ekor, winking atau mengedip-ngedipkan clitoris, dan mengeluarkan urin bila didekatkan ke pejantan. Estrus pada kuda berlangsung  4  sampai  7  hari  (Toelihere,  1995),  sedangkan  menurut  (Blakely dan Bade, 1995), estrus berlangsung 4 sampai 6 hari.  Selama  estrus,  selain  vulva menjadi  besar  dan  bengkak,  vulva  menjadi  merah,  basah,  mengkilap  dan ditutup dengan selaput lendir transparan (Hafez, 1983).

   Proestrus  adalah  fase  sebelum  estrus,  yaitu  periode  dimana  folikel  de Graaf  tumbuh  dibawah  pengaruh  Folikel  Stimulating  Hormon  (FSH)  dan menghasilkan sejumlah  estradiol  yang semakin  bertambah. Sistem reproduksi memulai  persiapan  untuk  melepaskan  ovum  dari  ovarium.  Akhir  proestrus terlihat mukus yang terang, transparan dan menggantung. Proestrus pada kuda  berlangsung selama 3 hari (Toelihere, 1995).  

2.4.        Sistem Perkawinan

Kuda betina hanya mau dikawinkan bila kondisi subur. Untuk mengetahuinya kuda betina ditempatkan berdekatan dengan kuda jantan. Perkawinan yang paling mudah adalah dipadang penggembalaan, apabila tidak menghindar sewaktu dinaiki kuda jantan menandakan bahwa kuda betina dalam keadaan birahi.

Fertilisasi adalah proses bertemunya sel telur kuda betina dengan sel sperma kuda jantan. Pada Kuda proses fertilisasi terjadi di ampula tuba falopii.

2.5.      Kebuntingan

Kebuntingan merupakan periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya partus. Pada kuda betina lama kebuntingan berkisar adalah 350 hari. Seddangkan Evans (1977), Harper (1999) mengatakan bahwa rata-rata periode kebuntingan ternak kuda adalah berkisar dari 335 – 340 hari.

·                Hormon yang berperan dalam periode kebuntingan pada Kuda betina

PMS (Pregnant Mare Serum) adalah hormone yang terdapat dalam serum bangsa equidae yang sedang bunting seperti pada kuda. PMS ini dibentuk pada jaringan plasenta yang dihasilkan oleh sel-sel epitel lapisan dalam dari lumen uterus dan lumen kelenjar uterus. Hormon ini ditemukan pada kuda bunting dengan usia kebuntingan 40 hari dan kadarnya meningkat terus menerus, pada hari ke 65 kadarnya menurun. PMS ini mengandung banyak unsur daya kerja FSH dan sedikit LH. Fungsi PMS dalam kuda bunting adalah meransnag ovarium untuk membentuk folikel-folikel baru, folikel ini akan tumbuh dan ovulasi sehingga membentuk korpus luteum (CL) dimana CL ini akan berperan menghasilkan progesterone. Selanjutnya PMS juga merangsang sel techa dan intertisial pada ovarium sehingga meningkatkan kadar estrogen yang diperlukan untuk mempekakan uterus dan ligamentum pelvis terhadap oxitosin dan relaksin menjelang partus.

            Pada pertengahan kebuntingan, fetus kuda telah kuat dan dapat bertahan hidup sampai lahir, pada saat ini produksi PMS sudah sangat menurun, saat ini FS dan LH dari hipofisa anterior berperan dalam meransang ovarium dan plasenta untuk dapat membentuk estrogen, sebab kadar estrogen dalam darah kuda bunting ini tetap tinggi sampai menjelang akhir kebuntingan.  

2.6.       Kelahiran

Kelahiran adalah proses fisiologik dimana uterus yang bunting mengeluarkan anak dan plasenta, melalui saluran kelahiran. Proses kelahiran ditunjang oleh perejanan kuat dari urat daging uterus, perut dan diafragma. Sebelum kelahiran terjadi perlu dikenali beberapa tanda-tanda akan datangnya kelahiran (Partodihardjo, 1982).

Tanda-tanda itu misalnya: induk hewan gelisah, ligament pada daerah sekitar panggul dan pangkal ekor merileks, eodema pada vulva, lendir sumbat serviks mencair, kolostrum telah menjadi cair dan mudah dipencet keluar dari puting susu. Namun demikian, saat dan intensitas tanda-tanda yang disebutkan itu dari hewan ke hewan tidak selalu sama termasuk pada kuda betina  (Partodihardjo, 1982)


Kamis, 29 Juli 2021

PERANAN TEKNOLOGI TERHADAP PRODUKTIFITAS AYAM BROILER

 

PERANAN TEKNOLOGI DALAM MENINGKATKAN

PRODUKTIFITAS AYAM PEDAGING (BROILER)


Oleh : Nadia Rahma


I.                   PENDAHULUAN

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani semakin tinggi, akan tetapi tingkat ketersediaannya masih belum mencukupi. Menurut Ditjen PKH (2016) konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia mencapai 0,417 kg/kapita/tahun (daging sapi), 5,110 kg/kapita/tahun (daging ayam), 0,939 l/kapita/tahun (susu) dan 99,796 kg/kapita/tahun (telur ayam). Konsumsi daging ayam cukup diminati masyarakat Indonesia dibandingkan dengan konsumsi daging sapi, hal tersebut terjadi karena harga daging ayam broiler relative terjangkau dibandingkan dengan daging sapi serta kandungan nutrisi daging ayam dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh.

Ayam pedaging (broiler) adalah strain ayam hasil budidaya teknologi reproduksi yang memiliki keunggulan dari segi ekonomi karena pertumbuhannya cepat sehingga dapat dijadikan sebagai penghasil daging (Dahlan dkk., 2012). Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki kandungan gizi yang cukup baik yaitu sebagai sumber protein hewani dan sumber energy. Permintaan terhadap daging ayam cenderung meningkat. Hal ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (2019) yang menyatakan bahwa terjadinya peningkatan konsumsi daging ayam ras pada tahun 2009 – 2013 yaitu dari 0,068 kg/ kapita menjadi 0,083 kg/ kapita.  Populasi ayam broiler semakin meningkat dari tahun ke tahun dikarenakan semakin meningkatnya pemintaan masyarakat akan daging ayam. Akan tetapi terjadi penurunan peningkatan populasi ayam broiler pada tahun 2018 yaitu sebesar 1.891.434.612 ekor dari 1.848.731.364 pada tahun 2017. Sedangkan pada tahun 2016 populasi ayam broiler adalah sebesar 1.632.567. 839 (Badan Pusat Statistik, 2019). Penurunan peningkatan populasi ini disebabkan karena beberapa faktor seperti manajemen sistem pemeliharaan (Setiawati dkk, 2016), pakan, sistem perkandangan dan lain sebagainya. Salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan penerapan beberapa teknologi yang dapat menunjang produktifitas ayam broiler sehingga didapatkan keuntungan yang maksimal.

Paper ini akan menyajikan beberapa rangkuman penelitian dan informasi mengenai teknologi-teknologi apa saja yang dapat meningkatkan produktifitas ayam broiler sehingga dapat meningkatkan kembali peningkatan populasi ayam broiler dan profit yang didapatkan mencapai maksimal.


PEMBAHASAN

 Peranan Teknologi Pengolahan Pakan dalam Menunjang Produktifitas Ayam Broiler

            Penerapan teknologi pengolahan pakan sangat berperan penting dalam meningkatkan produktifitas ayam broiler. Beberapa teknologi pengolahan pakan seperti fermentasi sudah dilakukan oleh beberapa peneliti agar dapat diterapkan oleh peternak. Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai teknologi pengolahan pakan dalam meningkatkan produktifitas ayam broiler.

a.                   Penerapan Teknologi Fermentasi pada Pakan Ayam Broiler

·         Teknologi Fermentasi dalam pemanfaatan eceng gondok sebagai pakan ayam broiler

Eceng gondok (Eichchornia crassipes) adalah salah satu tumbuhan air yang sering merusak lingkungan danau dan sungai karena tumbuh dengan cepat sehingga perlu dilakukan upaya untuk menanganinya agar tidak mengganggu dan merusak lingkungan.  Salah satu alternatifnya adalah dimanfaatkan sebagai bahan pakan ayam broiler (Mangisah dkk., 2006). Menurut Fuskhah (2000), Eceng gondok mengandung bahan kering sekitar 7%, protein kasar 11,2%, serat kasar 18,3, BETN 57%, Lemak kasar 0,9%, abu 12,6%; Ca 1,4%; dan P sebesar 0,3%. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan pakan ayam broiler memiliki keuntungan bagi ekosistem danau dan ayam broiler sendiri. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan pakan ayam broiler dapat dilakukan dengan melakukan pengolahan melalui proses fermentasi eceng gondok dengan Aspergilus niger agar dapat menghasilkan pakan yang berkualitas yang menunjang produktifitas dari ayam broiler.

Hasil penelitian Mangisah dkk., 2006 menunjukkan bahwa penggunaan daun eceng gondok hasil fermentasi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kecernaan nutrien ransum dan pertambahan bobot badan ayam broiler. Hasil Penelitian Mangisah dkk (2006) dapat dilihat pada Tabel 1

 

Tabel 1. Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Harian Ayam Broiler    yang diberi Pakan Fermentasi Eceng Gondok dengan Aspergilus niger

Keterangan :

T0 : Fermentasi daun eceng gondok dengan Aspergilus niger 0 %

T1 : Fermentasi daun eceng gondok dengan Aspergilus niger 2.5 %

T2 : Fermentasi daun eceng gondok dengan Aspergilus niger 5.0 %

T3 : Fermentasi daun eceng gondok dengan Aspergilus niger 7.5 %

            Pada Tabel dapat kita lihat bahwa konsumsi pakan pada ayam broiler yang paling tinggi adalah ransum perlakuan T1 dan yaang paling rendah adalah perlakuan T3, sedangkan pertambahan bobot badan harian pada ayam broiler yang paling tinggi adalah pada ransum dengan T1. Untuk konversi ransum sendiri perlakuan T1 dan T2 memberikan angka yang sama dan yang paling rendah. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan Aspergilus niger 2.5% dan 5.0% dapat menurunkan konversi ransum ayam broiler. Konversi ransum merupakan jumlah ransum yang dibutuhkan oleh ternak dalam waktu tertentu untuk menghasilkan pertambahan berat badan. Artinya untuk menghasilkan berat badan sebesar 1 kg dibutuhkan jumlah ransum sebesar 2.82 kg. Hal ini dikarenakan kandungan enzim selulase yang dihasilkan oleh Aspergilus niger akan mendegrasi serat kasar pada eceng gondok dan mampu merenggangkan ikatan lignoselulosa sehingga menyebabkan penurunan serat pada eceng gondok akan tetapi penggunaan 7.5% tidak memberikan pengaruh yang nyata dengan tanpa pemberian Aspergilus niger terhadap konversi ransum ayam broiler.

·         Teknologi Fermentasi Ampas Kedelai dan Bungkil Inti Sawit pada pakan ayam broiler

Salah satu upaya dilakukan untuk mengganti penggunaan antibiotik adalah mencari imbuhan pakan alternatif seperti pro-prebiotik. Adzima dkk (2018) telah melakukan penelitian mengenai penggunaan Ampas Kedelai dan Bungkil Inti Sawit yang difermentasi dengan Aspergilus niger sebagai pakan ayam broiler dimana dapat disimpulkan bahwa penggunaan pakan fermentasi tersebut ternyata dapat dijadikan sebagai sumber probiotik sehingga mampu meningkatkan kualitas ayam broiler dan menjamin keamanan bagi konsumen. Hasil lebih lanjut mengatakan bahwa pemberian pakan fermentasi tersebut ternyata mampu mempertahankan jumlah mikroba yang menguntungkan seperti E.Coli dan mengurangi mikroba pathogen yaitu salmonella serta mampu meningkatkan jumlah bakteri asam laktat dalam saluran pencernaan ayam broiler.

b.                  Penerapan Teknologi Pengolahan  pada Ransum Ayam Broiler

Bentuk pakan dari ayam broiler terbagi menjadi 3 yaitu mash, crumble dan pellet. Teknologi pengolahan pakan berupa pellet sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dan diterapkan pada industry peternakan ayam broiler dalam meningkatkan produktifitas ayam broiler. Hasil penlitian Chehraghi dkk (2013) terhadap aanak ayam broiler berumur 1 hari dan dipelihara selama 4 minggu memperlihatkan hasil bahwa ayam broiler yang diberi pakan berupa pellet memberikan pertambahan bobot badan lebih baik dibandingkan dengan pakan berupa mash dan crumble,tetapi pakan berupa crumble juga memberikan pertambahan bobot badan harian lebih baik dibandingkan dengan ayam broiler yang diberikan pakan berupa mash. Hasil penelitian lebih lanjut dapat dlihat pada Tabel 2

Tabel 2. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler yang diberi Pakan Mash, Crumble dan Pellet pada Ayam Broiler (g/ayam/minggu)

            Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ayam broiler yang diberikan pakan berupa pellet umur 1-4 minggu memberikan  rata-rata pertambahan bobot badan harian lebih tinggi dibandingkan dengan pakan mash dan crumble. Hal tersebut karena dapat mengefisienkan formula pakan, karena setiap butiran pellet mengandung nutrisi yang sama, dapat menekan pemborosan pakan akibat tumpah atau terbuang dan dapat meningkatkan selera makan pada ayam (Ichwan, 2003).

 Penerapan Teknologi Perkandangan dalam Meningkatkan Produktifitas Ayam Broiler

Ayam broiler termasuk hewan homeothermis, ayam broiler akan berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan relative konstan antara lain melalui peningkatan frekuensi pernafasan dan jumlah konsumsi air minum serta penurunan konsumsi ransum (Wijayanti dkk,. 2011). Suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari dapat mencapai 34ºC dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga ternak mengalami cekaman panas. Akibatnya, pertumbuhan ternak menjadi lambat dan produksi menjadi rendah. Tingginya suhu lingkungan dapat juga menyebabkan terjadinya cekaman oksidatif dalam tubuh, sehingga menimbulkan munculnya radikal bebas yang berlebihan. Salah satu langkah dalam mengatasi permasalahan suhu lingkungan perkandangan adalah dengan cara manipulasi lingkungan perkandangan ayam broiler seperti menggunakan kandang sistem close house.

Kandang close house merupakan kandang yang didesain secara tertutup yang dapat menjamin ternak secara biologi dengan pengaturan ventilasi yang baik, sehingga mengurangi heat stress pada ternak. Kandang system close house dapat menjadi solusi bagi lingkungan yang beriklim terlalu panas atau terlalu dingin dalam pemeliharaan ayam sehingga meningkatkan kinerja ternak dalam berproduksi ( Costantino dkk., 2018).

            Menurut hasil penelitian Santoso dkk (2018) menyimpulkan bahwa peternakan ayam broiler dengan sistem kandang tertutup (close house) menghasilkan pendapatan yang lebih dibandingkan dengan sistem kandang terbuka (open house). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Ismail dkk (2016). Untuk hasil lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.  Biaya tetap, Variabe dan Total Sistem Perkandangan close house dan open house



            Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa Total Biaya kandang close house lebih tinggi dibandingkan dengan kandang openhouse, hal tersebut dikarenakan kandang sistem close house menggunakan peralatan yang otomatis sehingga dana yang dibutuhkan juga cukup tinggi. Akan tetapi setelah dilakukan pemeliharaan ayam broiler ternyata kandang sistem closehouse lebih mengguntungkan, untuk lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 4.


Tabel 4. Penerimaan dan keuntungan kandang system open house system dan closed house system dalam 1 tahun per 1000 ekor

 


            Penggunaan sistem kandang close house lebih menguntungkan karena keunggulan dari sistem perkandangan close house dimana dapat meminimumkan tingkat stres pada ayam broiler, dengan cara mengurangi stimulasi yaitu mengurangi kontak dengan manusia sehingga tingkat kematian pada ayam broiler lebih rendah.

 

KESIMPULAN

            Untuk meningkatkan produktifitas Ayam broiler agar mencapai keuntungan yang maksimal dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa teknologi seperti teknologi pengolahan pakan dan teknologi sistem perkandangan. Salah satu contoh teknologi pengolahan pakan adalah dengan melakukan proses fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pakan fermentasi seperti eceng gondok dengan Aspergilus niger dapat meurunkan nilai konversi ransum pada ayam broiler dan fermentasi Aspergilus niger dengan ampas  kedelai bungkil biji sawit pada ayam broiler dapat meningkatkan jumlah bakteri dan BAL baik pada usus dan menekan pertumbuhan bakteri pathogen. Selain teknologi fermentasi pada pakan ayam broiler, penggunaan pakan berupa pellet ternyata juga memberikan pertambahan bobot badan harian lebih baik dibandingkan dengan pakan mash dan crumble.

 Sedangkan penerapan sistem kandang close house pada peternakan ayam broiler ternyata juga memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan sistem kandang open house.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2019. Populasi Ayam Ras Pedaging Menurut Provinsi. https://www.bps.go.id/. Diakses 20-06-2019 Pukul 10:58 WIB

Chehraghi M., Zakeri A. and Taghinejad R. M. 2013. Effects of different feed forms on performance in broiler chickens. European Journal of Experimental Biology, 2013, 3(4):66-70

Dahlan, Mufiq dam S. Haqiqi. 2012. Pengaruh Tepung Bawang Putih (Allium Sativum) Terhadap Kematian (Mortalitas) dan Berat Badan Ayam Pedaging (Broiler) Jurnal  Ternak, Vol 3(2).

Ditjen PKH. 2016. News Latter Data Makro. Konsumsi Periode Tahun 2016. Edisi : 01/konsumsi/03/2017.

Ichwan, W.M. 2003. Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging. Ed I. Jakarta. PT. Agromedia Pustaka.

Mangisah, I., Tristiarti , W. Murningsih, M.H. Nasoetion, E.S. Jayanti, dan Y. Astuti. 2006. Kecernaan Nutrien Eceng Gondok yang Difermentasi dengan Aspergilus Niger pada  Ayam Broiler. Jurnal Indon. Trop. Anim.Agric. 31 (2).

Santoso, S.I., T. A. Sarjana and A. Setiadi. 2018. Income Analysis of Closed House Broiler Farm with Partnership Business Model. Buletin Peternakan 42 (2): 164-169.

Setiawati, t.,  R. Afnan dan N. Ulupi. 2016.  Performa Produksi dan Kualitas Telur Ayam Petelur pada Sistem Litter dan Cage dengan Suhu Kandang Berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 04 (1) : 197-203.

Wijayanti R. P, W Busono dan R. Indrati. 2011. Pengaruh Suhu Kandang yang Berbeda Terhadap Performans Ayam Pedaging Periode Starter. Universitas Brawijaya.

Yulianty, Nani. 2013. Sistem Kandang Closed House. Animal Husbandry Universitas Of Lampung

 

 


INTEGRASI SISTEM PERTANIAN – PETERNAKAN

 


(INTEGRATED FARMING : TANAMAN PADI - TERNAK SAPI)


Oleh : Nadia Rahma


I.               PENDAHULUAN

Subsektor pertanian dan peternakan merupakan sektor penting dalam upaya memantapkan ketahanan pangan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi terutama protein hewani semakin tinggi, akan tetapi tingkat ketersediaannya masih belum mencukupi. Saat ini pengembangan ternak potong seperti ternak sapi sebagai sumber protein hewani masih belum memadai. Masyarakat masih enggan untuk memelihara ternak sapi karena ketersediaan sumber pakan yang belum mencukupi, mereka cendrung menggunakan lahan yang mereka miliki untuk bertani dan menghasilkan produk pangan nabati seperti padi dengan produk akhir berupa beras sebagai makanan pokok dinegara Asia dibandingkan dengan memelihara sapi. Disisi lain limbah yang dihasilkan pada saat pertanian belum dimanfaatkan dengan baik, padahal limbah tersebut dapat dijadikan sebagai pakan bagi ternak ruminansia, terutama sapi. Dilaporkan oleh Syamsu (2013) pengetahuan petani di Kabupaten Pinrang (Indonesia) tentang pemanfaatan limbah pertanian (padi) berupa jerami sebagai pakan ternak sapi sudah cukup baik yaitu sekitar 54,80% tetapi penerapannya dilapangan masih sangat rendah yaitu 11,62%.  Padahal jerami padi ini sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai pakan ternak apabila dilakukan pengolahan untuk meningkatkan nilai nutrisinya.

Pengembangan bidang pertanian dan peternakan sangat penting untuk dilakukan karena berperan dalam memproduksi makanan untuk kebutuhan hidup pokok manusia dan mennunjang ketahanan pangan. Salah satu solusi untuk menjaga ketahanan pangan adalah dengan mengambangkan pola sistem pertanian yang terintegrasi dengan sistem peternakan.

Integrasi sistem pertanian merupakan sistem yang mengkombinasikan berbagai spesies tanaman dan ternak dan penerapan beraneka ragam teknologi untuk menjaga kelestarian lingkungan, membantu petani dalam menjaga dan meningkatkan produktifitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani. Integrasi sistem pertanian dapat menjadi solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam pengembangan pertanian dan peternakan karena sistem ini memiliki banyak manfaat, keunggulan dan keuntungan.

Di Indonesia integrasi sistem pertanian sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an yang berdasarkan pada hasil penelitian dan secara bertahap muncul istilah pola tanam, pola usaha tani, sistem usaha tani dan akhirnya muncul istilah sistem tanaman-ternak (crop livestock sistem) (Mukhlis dkk, 2018). Sistem tanaman-ternak ini memiliki peluang yang besar untuk terus dikembangkan baik pada wilayah dengan luasan lahan pertanian yang terbatas, maupun didaerah dengan lahan pertanian yang luas dengan harapan mampu meningkatkan produksi, populasi, produktifitas dan daya saing produk yang dihasilkan. Pentingnya pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak didukung oleh beberapa hasil penelitian di dunia. Di Vietnam, sistem integrasi tanaman-ternak dalam pengembangannya dapat meningkatkan pendapatan empat kali lebih banyak dibandingkan dengan sistem yang tidak terintegrasi. Di Jepang, sistem integrasi tanaman-ternak bisa mengurangi biaya pembelian pakan ternak dan biaya pupuk sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Di Timur Laut Thailand, untuk menghentikan degradasi lahan dan mendapatkan kembali produktivitas, para petani telah mengorganisir pertaniannya menjadi kelompok-kelompok dengan sistem integrasi tanaman-ternak serta  pemanfaatan limbah ternak sebagai sumber nutrisi tanaman (pupuk organic)  untuk meningkatkan hasil panen dan mengurangi biaya produksi., Di Nepal, pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak menunjukkan analisis profitabilitas atau keuntungan. Di Amerika Utara dapat meningkatkan diversifikasi produksi pertanian lebih kompetitif dan lebih ramah lingkungan, meningkatkan kualitas tanah dan efisiensi penggunaan lahan, mengurangi ketergantungan input eksternal, mengendalikan, peningkatan output, menjaga ketahanan pangan dan peningkatan perekonomian.  Kemudian, di India menunjukkan peningkatan pendapatan petani, mengurangi biaya input bahan dan di Ethiopia, Zimbabwe, Mali dan Afrika Sub-Sahara, sistem integrasi tanaman-ternak dapat mengurangi kemiskinan, meningkatkan mata pencaharian tanaman petani peternak kecil dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional (Mukhlis dkk, 2018).

Salah satu penerapan sistem tanaman-ternak adalah sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (sistem integrasi padi-sapi). Sistem integrasi padi-sapi telah menjadi bagian budidaya bertani di Indonesia. Sistem ini mampu memanfaatkan sumber daya lokal, yaitu bahan ikutan berupa jerami dan dedak serta kotoran ternak secara efisien (Yuliani, 2014). Ciri utama sistem integrasi padi-sapi adalah adanya keterkaitan antara tanaman dan ternak misalnya limbah tanaman seperti jerami digunakan sebagai pakan ternak, begitupun kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman padi. Sistem ini mampu memberikan keuntungan dengan meningkatkan produktifitas, mengurangi biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Sistem integrasi padi-sapi juga merupakan solusi terhadap permasalahan pakan sehingga dapat memperkuat ketahanan pangan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai pola sistem integrasi padi-sapi sehingga pemanfaatan yang diberikan dapat mencapai optimal.

II.           METODE PENULISAN

Penulisan karya tulis ini menggunakan metode studi pustaka yang bersumber dari beberapa jurnal international dan nasional yang terakreditasi. Dalam tulisan karya tulis ilmiah ini akan dibahas mengenai definisi, concepts and research results from various references that are relevant to the research purpose.konsep, model dan penerapan teknologi serta beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan pembahasan sistem integrasi pertanian dan peternakan, dalam hal ini akan khusus membahas sitem integrasi antara tanaman padi dengan peternakan sapi.


III.        PEMBAHASAN

 Model dan Konsep Sistem Integrasi Padi-Sapi

 Integrated Farming Sistem / IFS merupakan sebuah sistem yang menggabungkan bidang pertanian (tanaman) dengan bidang peternakan (ternak) serta penerapan berbagai teknologi untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai, menjaga produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani. IFS adalah bagian dari sistem teknologi agroekonomi yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait. Integrasi sistem pertanian merupakan pendekatan sistematis untuk menggunaan input yang rendah antara tanaman dengan ternak (Mukhlis, 2014).  

Model dari sistem ini dimulai dengan komponen input yang terdiri dari input pertanian dan input peternakan untuk menghasilkan komponen output. Model sistem integrasi padi-sapi dapat dilihat pada Gambar 1.

 




Gambar 1. Model sistem integrasi padi-sapi (sumber : Magsakay dkk, 2014)

            Sistem integrasi padi-sapi menyediakan agregat input yang terdiri dari bidang pertanian (padi) dan bidang peternakan (sapi). Padi selain menghasilkan beras sebagai makanan pokok masyarakat Asia terutama Indonesia juga menghasilkan jerami sebagai pakan sapi dan sisa-sisa jerami yang dapat dikembalikan ke tanah untuk memperbaiki unsur hara tanah.  Sedangkan sebagai gantinya, pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi disebar kembali ke tanah untuk menyuburkan tanah dan penyerapan unsur hara bagi tanaman padi.

Sistem integrasi padi-sapi juga merupakan sistem yang didasarkan pada konsep biologi daur ulang, keterkaitan input-output dengan penggunaan input eksternal yang rendah melalui pemanfaatan limbah pertanian dan kotoran hewan untuk keperluan peningkatan produksi  sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dan dapat menciptakan kondisi pertanian ramah lingkungan. Konsep  penting dari sistem ini adalah kegiatan pertanian harus mendukung dan menguntungkan dengan kegiatan lainnya (Changkid, 2013).

  Pemilihan padi dan sapi dalam usaha tani didasarkan pada hubungan timbal balik dimana selain menghasilkan beras sebagai makanan pokok masyarakat Asia, terutama Indonesia, produksi pasca panen dari tanaman padi juga menyediakan jerami dan dedak padi untuk pakan sapi, sebaliknya selain menghasilkan daging dan susu sebagai sumber protein hewani, sapi juga menghasilkan kotoran yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik untuk tanaman padi yang berperan dalam memperbaiki struktur tanah, mendorong penyerapan air, menjaga kelembaban tanah, mengurangi daya serap, dan mencegah pengerasan pada permukaan tanah (Mukhlis dkk, 2014).

Sistem integrasi padi-sapi dapat meningkatkan keuntungan petani dibandingkan dengan usaha tani tunggal, karena dapat menciptakan biaya produksi yang minimal dengan adanya pemanfaatan potensi sumber daya lokal. Untuk memudahkan pemahaman tentang integrasi sistem padi-sapi dapat dilihat pada Gambar 2.




 

Gambar 2. Konsep integrasi sistem padi-sapi

Kegiatan sistem integrasi padi-sapi meliputi input, proses, dan output yang berupa produk dan produk samping. Tahap input bidang pertanian terdiri dari biji / benih, pupuk sebagai penyubur  tanah  utama, air, dan pestisida seperti agro-kimia lainnya serta biaya tenaga kerja. Tanah akan memproses input yang tersedia dan dengan demikian menghasilkan produk berupa padi, jerami, rumput dan gulma, serta sisa jerami. Produk utama yang dihasilkan oleh padi berupa beras. Dari pengolahan padi menjadi beras maka akan dihasilkan dedak sebagai by-product yang dapat dijadikan pakan ternak. Sedangkan limbah lainnya berupa jerami padi, rumput dan gulma serta sisa-sisa jerami juga dapat dijadikan sebagai pakan ternak sapi.

Tahap input bidang peternakan terdiri dari ternak, kandang, obat-obatan, pembibitan, biaya operasional dan pakan. Tanah menampung input secara langsung dan tidak langsung. Produk utama dari input ini adalah sapi dewasa dan anak sapi, serta pupuk kandang sebagai hasil sampingan. Sapi memproduksi daging sebagai sumber protein hewani manusia dan dapat dikembangbiakan kembali sedangkan produk sampingannya berupa kotoran sapi yang dijadikan sebagai pupuk organik yang akan dikembalikan ke lahan pertanian.Sebagai gantinya lahan pertanian ini akan menghasilkan produk sampingan yang berguna sebagai pakan bagi ternak sapi.

3.2.       Penerapan Teknologi untuk Menunjang Sistem Integrasi Padi-Sapi

Untuk mewujudkan prinsip zero waste dalam sistem integrasi padi – sapi, maka dibutuhkan komponen teknologi (Syamsu, 2013). Adapun teknologi yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut :

a.       Pemanfaatan produk sampingan tanaman padi (jerami) dengan teknologi fermentasi sebagai pakan ternak

Kandungan protein yang rendah dan tingkat silika serta lignin yang tinggi menjadi faktor pembatas jerami padi sebagai pakan ternak karena tingkat kecernaannya masih rendah (Oladosu dkk, 2016). Untuk meningkatkan nilai nutrisi dari jerami sebagai alternative pakan ternak dalam integrasi sistem padi-sapi maka diperlukan sebuah teknologi pengolahan, salah satunya adalah fermentasi. Perbandingan kandungan nutrisi jerami fermentasi dan tanpa fermentasi menurut Syamsu dkk (2013) dapat dilihat pada Tabel 1.



Tabel 1. Perbandingan nutrisi jerami fermentasi dengan jerami tanpa fermentasi

            Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan nutrisi jerami fermentasi lebih baik dibandingkan dengan tanpa fermentasi. Hal ini dikarenakan selama periode fermentasi, ikatan lingo cellulose hemi cellulose longgar oleh  mikroba lignolitik dengan enzim lignose yang dihasilkannya. Oleh karena itu dapat menurunkan kandungan selulosa dan lignin dari jerami padi yang difermentasi. Sehingga dapat dimanfaatkan oleh sapi sebagai sumber pakannya (Syamsu dkk, 2013). Teknologi fermentasi jerami ini baik untuk diterapkan pada sistem integrasi padi-sapi.

b.      Pemanfaatan kotoran ternak dengan teknologi pembuatan pupuk kompos

Gas metana adalah salah satu gas rumah kaca yang dapat  menyebabkan pemanasan global. Gas metana dapat berasal dari ternak ruminansia besar yang bersumber dari saluran pencernaan dan kotoran ternak (Munandar dkk., 2015). Berdasarkan hasil penimbangan kotoran ternak pada PT Taman Agrotechno, setiap sapi menghasilkan 6,5 kg - 9,07 kg atau rata-rata 7,724 kg / ekor / hari kotoran berupa feses.  Jika kotoran dibiarkan terbuka dan ditumpuk di bawah anaerob kondisi di mana tidak ada oksigen, pada suhu lebih tinggi dari 15°C, bakteri metanogenik akan menghasilkan metana (Munandar dkk, 2015).

Untuk mengurangi gas metana yang berasal dari kotoran ternak dapat dilakukan dengan penerapan teknologi pengomposan. Proses pengomposan dapat menurunkan emisi gas metana hingga 8,92 g / kg pupuk kandang. Pengomposan dapat mengurangi pembentukan gas metana dari kotoran ternak melalui proses transisi teratur yang menganginkan dengan kondisi aerob (Mukhlis dkk, 2018).

Selain mengurangi emisi gas metana penggunaan pupuk kompos memiliki banyak manfaat dalam meningkatkan unsur hara tanaman, seperti memperbaiki stuktur tanah, mendorong penyerapan air, mengurangi daya serap dan mencegah pengerasan pada permukaan tanah (Mukhlis dkk, 2018). Sehingga lahan pertanian untuk menanam padi menjadi lebih baik dan hasil panen menjadi lebih meningkat.

Oleh karena itu teknologi pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kompos sangat baik dilakukan untuk sistem integrasi padi -  sapi.

3.3.       Keuntungan Penerapan Integrasi Sistem Padi-Sapi

Menurut Changkid (2013) manfaat dari sistem integrasi adalah untuk mengurangi risiko perubahan iklim, mengurangi risiko tidak stabilnya harga produk, untuk mencegah kerusakan lahan / tanaman dari serangga atau hama, memperluas lapangan kerja, mengurangi polusi yang diakibatkan karena penggunaan dan ketergantungan pupuk anorganik, menjaga ketahanan pangan serta meningkatkan pendapatan petani.

Menurut hasil penelitian Mukhlis dkk (2018) penerapan teknologi integrasi ternak sapi dengan tanaman padi dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar adalah Rp34.488.800 lebih tinggi dari pada pola tradisional yaitu sebesar Rp22.903.200. Berdasarkan analisis rasio R/C, nilai nya adalah 6, nilai ini lebih tinggi dari pola tradisional dengan nilai 4. Keadaan ini menunjukkan bahwa penerapan sistem integrasi padi-sapi layak untuk dibudidayakan.

Sedangkan hasil penelitian Magsakay dkk (2014) rata-rata pendapatan bersih dan pengeluaran petani di provinsi Bulacan (Filiphina) menggunakan integrasi sistem padi-sapi dapat dilihat pada Tabel 2. 

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pengeluaran untuk biaya pertanian (padi) lebih kurang tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan peternakan sapi, sedangkan untuk pendapatan bersih rata-rata hampir sama diantara bidang pertanian dan peternakan. Apabila dalam pemeliharaannya dilakukan sistem integrasi padi-sapi, maka didapatkan jumlah laba bersih diantara kedua bidang tersebut sekitar 1.238,15 USD dibandingkan hanya memilih sistem pertanian dan peternakan tunggal yaitu 614,94 USD untuk pertanian tunggal dan 623,21 untuk peternakan tunggal.

Tabel 1. Pendapatan dan pengeluaran rata - rata tahunan untuk integrasi sistem padi-sapi.








Di antara pengeluaran yang tercantum, pengeluaran terbesar pada bidang pertanian ada pada biaya operasional, biaya agrochemical dan biaya benih. Untuk bidang peternakan biaya input berurutan adalah biaya pembelian ternak, biaya pakan, biaya operasional, perkandangan, pembibitan dan obat-obatan.

Dengan pola sistem integrasi padi-sapi akan mengurangi biaya agro-chemical karena penggunaan pupuk anorganik dapat digantikan dengan pupuk organik yang dihasilkan dari kotoran sapi. Sedangkan untuk biaya pakan sapi dengan sistem integrasi padi-sapi akan berkurang, hal ini dikarenakan adanya pemanfaatan limbah pertanian (jerami dan dedak) yang dapat dijakdikan sebagai pakan sapi.

Manajemen pertanian dengan sistem integrasi dalam skala yang lebih besar dapat menghemat penggunaan input dan meningkatan hasil produksi (beras) sebesar 17,7% dengan keuntungan sebesar 15,6%  sehingga memiliki dampak positif terhadap pembangunan daerah (Mukhlis dkk,. 2018). Semakin lama menerapkan sistem integrasi padi-sapi maka semakin meningkatkan hasil produksi dan keuntungan dibandingkan dengan penerapan sistem pertanian tunggal yang sering menghadapi risiko karena pendapatan pertanian yang berfluktuasi dan ketergantungan dengan kondisi cuaca (Changkid, 2013). Integrasi sistem padi-sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah, kualitas air dan udara serta menciptakan keseimbangan  lingkungan.

Hasil penelitian Mukhlis dkk (2018) produksi beras dari tanaman padi pola integrasi sistem padi-sapi ini dapat meningkat dari 4,86 menjadi 5,36 ton / ha, (10,29%) dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebesar 53,33%. Penurunan penggunaan pupuk anorganik, seperti pupuk urea menurun hingga 100 kg / ha (N 57,14%), pupuk SP-36 menurun hingga 50 kg / ha (50%) dan penggunaan KCl menurun hingga 50 kg / ha (50%).

Sedangkan untuk peternakan sapi terjadi peningkatan bobot badan. Rata-rata kenaikan berat badan harian adalah 790 gr / ternak / hari, sedangkan pola pemeliharaan tradisional hanya 320 gr / ekor /. Rasio C / N dari kotoran untuk pembuatan kompos adalah 19,03%. Rata-rata pupuk organik yang dihasilkan adalah 4 kg / ekor setiap hari dan jerami padi yang dihasilkan adalah 7,26 ton / ha / musim (Mukhlis dkk. 2018). Pendapatan petani dengan sistem pertanian terintegrasi mencapai Rp. 9.086.867 untuk 1 ha lahan dan 2 ekor sapi atau Rp. 4.543.433 untuk 1 ha lahan dan 1 ekor sapi dengan rasio R / C 1,56. Petani dapat memperoleh beberapa manfaat karena penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi (Mukhlis dkk, 2018). Di  Thailand petani yang menggunakan sistem integrasi dapat meningkatkan pendapatan mereka, mereka  memperoleh  sekitar 2.140 Baht per rai per bulan sedangkan penghasilan yang tidak menggunakan sistem integrasi hanya 252 Baht per rai per bulan.

Keuntungan dari peternakan tradisional untuk penggemukan sapi potong adalah Rp. 611.250 / ekor / tahun, budidaya padi memberikan keuntungan sebesar Rp. 12.745.000 / ha / tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh dari pertanian terintegrasi terdiri dari: keuntungan penggemukan sapi potong  Rp 3.477.380 / ekor / tahun. keuntungan budidaya tanaman padi Rp 90.517.250 / ha / tahun. Efisiensi biaya yang dicapai untuk pertanian terintegrasi adalah 1,49 sedangkan efisiensi biaya bisnis tunggal hanya 1,16. Kondisi ini menunjukkan bahwa sapi potong yang terintegrasi dengan tanaman padi lebih banyak menguntungkan dan lebih efisien dari pada pertanian tunggal/tradisional (Mukhlis dkk,. 2018).

Integrasi sistem padi-sapi dapat mengembalikan bahan organik ke tanah (dari pupuk organik) dapat meningkatkan fiksasi CO2 didalam tanah dalam bentuk bahan organik tanah. Meningkatnya kadar C pada tanah berdampak positif terhadap kesuburan tanah, produksi benih, dan tanaman biomassa (Mukhlis dkk, 2018).

Pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk kompos dapat mengurangi pembentukan gas metana dari kotoran ternak melalui proses transisi teratur yang menganginkan dengan kondisi aerob. Pupuk organik yang dihasilkan dapat  menyimpan karbon lebih lama dan memperlambat pembentukan C organik menjadi CO2. Penggunaan pupuk kompos adalah alternatif teknologi yang direkomendasikan untuk meningkatkan kualitas tanah dan hasil panen agronomis. Peningkatan 1 ton C organik di tanah di sekitar zona akar akan dapat meningkatkan produksi padi 0-50 kg / ha. Efek nyata dari peningkatan C organik adalah meningkatkan ketersediaan nutrisi tanah, berkontribusi pada pasokan N, P, dan nutrisi mikro serta peningkatan kation kapasitas tukar tanah (Munandar dkk., 2015).  

Kompos dan sisa tanaman mengandung 40% -60% Ccarbon (Jarecki & Lal, 2003);CCCCCCCC. therefore, the applicationOleh karena itu, aplikasi of the two materials would not only increase the carbondari dua bahan ini tidak hanya akan meningkatkan C content in the soil, but also indirectly fix CO2 in the soil. dalam tanah, tetapi juga secara tidak langsung memperbaiki CO2 di tanah. Penerapan organic fertilizer for 23 yr would increase soil organicpupuk organik selama 23 tahun akan meningkatkan kC content from 12.1 tons/ha to 15.46 tons/ha, while theadar C dari 12,1 ton / ha menjadi 15,46 ton / ha. Semakin banyak bahan organik yang terkandung di dalam tanah, maka semakin meningkatkan produktif tanah. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan The soil organic C increasedC organik sebesar 5.12 tons/ha/yr and the seeds production increased5,12 ton / ha / tahun akan meningkatkan produksi benih sebesar 0.76 tons/ha.0,76 ton / ha.  In other words, an increase of 1 ton/ha ofDengan kata lain, peningkatan 1 ton / ha organic C was followed by an increase of 150 kg of seedC organik akan diikuti oleh peningkatan 150 kg benih tanaman (Munandar dkk., 2015). Teknologi untuk pemanfaatan kotoran ternak dalam sistem integrasi padi-sapi dapat dilakukan dengan pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kompos. Pengolahan kotoran ternak menjadi kompos dapat mengatasi mitigasi gas metana ke atmosfer. Pengelolaan kotoran ternak dapat mengurangi 70% dari metana emisi ke atmosfer. production.Studi ini menunjukkan bahwa penerapan sistem integrasi pertanian  dapat menjadi solusi alternatif untuk menjaga perubahan iklim akibat mitigasi (Mukhlis dkk, 2018).


 

IV.        KESIMPULAN

Integrasi sistem pertanian merupakan sistem yang mengkombinasikan berbagai spesies tanaman dan ternak dengan penerapan berbagai teknologi penunjang. Integrasi sistem pertanian sangat baik diterapkan menimbang banyaknya manfaat dan keuntungan yang didapat seperti membantu petani menjaga produktifitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani. Salah satu penerapan dari sistem integrasi pertanian adalah sistem integrasi padi-sapi.

Sistem integrasi padi-sapi merupakan strategi yang sangat penting untuk mewujudkan usaha tani yang ramah lingkungan, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar. Sistem ini dapat memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan dengan meghasilkan produk pangan yang sehat dan mencukupi kebutuhan. Prinsip dari sistem integrasi padi-sapi ini adalah dengan menerapkan konsep zero waste yaitu dengan memanfaatkan sumber daya lokal seperti jerami, padi, dedak dan kotoran ternak secara esfisien.

Implementasi dari sistem integrasi padi-sapi dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik, mengurangi biaya produksi, dan dapat meningkatkan pendapatan petani padi dan pendapatan bisnis ternak. Kemudian, juga dapat meningkatkan kesuburan tanah, kualitas air dan udara, dan menjadi solusi untuk mengatasi perubahan iklim akibat mitigasi.

Untuk memperoleh manfaat yang optimal dalam sistem integrasi padi-sapi ini diperlukan beberapa teknologi sebagai penunjang. Seperti teknologi fermentasi jerami untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami sebagai pakan ternak dan teknologi pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kompos yang dapat memperbaiki unsur hara tanah dan mengurangi emisi gas metana. Sistem integrasi padi-sapi merupakan usaha tani yang efisien dan dinilai efektif untuk meningkatkan pendapatan petani dan menjaga ketahanan pangan nasional.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Magsakay, E., N. G. Jimenez and E.P. Dadios. 2014. Sustainable Rice-Cattle Integrated Farming System for Small Landholders in the Province of Bulacan. International Conference on Food and Agricultural Sciences. 77 (5).

Mukhlis, M. Noer, Nofialdi, and Mahdi. 2018. The Integrated Farming System of Crop and Livestock: A Review of Rice and Cattle Integration Farming. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research. 42 (3) : 68-82  

Munandar, F. Gustiar, Yakup, R. Hayati, and A. I. Munawar. 2015. Crop-Cattle Integrated Farming System: An Alternative of Climatic Change Mitigation. Media Peternakan 38 (2) : 95-103

Oladosu, Y., M.Y. Rafli., N. Abdullah., U. Magaji., G. Hussin., A. Ramli and G. Mia. 2016. Fermentation Quality and Additives: A Case of Rice Straw Silage. Hindawi Publishing Corporation. 

Syamsu, J. A. H. M. Ali, and M. Yusuf. 2013. Application of Technology for Processing Rice Straw as Feed for Beef Cattle. International Conference on Agriculture and Biotechnology. Singapore

Yuliani, Dini. 2014. Sistem Integrasi Padi Ternak untuk Mewujudkan Kedaulatan Pagan. Jurnal Agroteknologi. 4 (2) : 15-26.

 

 

 


SISTEM HORMONAL DAN SIKLUS REPRODUKSI PADA KUDA BETINA

SIKLUS REPRODUKSI KUDA BETINA  Oleh : Nadia Rahma I.                    PENDAHULUAN Kuda merupakan salah satu ternak yang mempunyai nilai ...