(INTEGRATED
FARMING : TANAMAN PADI - TERNAK SAPI)
Oleh : Nadia Rahma
I.
PENDAHULUAN
Subsektor pertanian dan peternakan merupakan sektor penting dalam upaya memantapkan
ketahanan pangan. Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan tingkat kesadaran masyarakat akan
pentingnya pemenuhan gizi terutama protein hewani semakin tinggi, akan tetapi
tingkat ketersediaannya masih belum mencukupi. Saat ini pengembangan ternak
potong seperti ternak sapi sebagai sumber protein hewani masih belum memadai. Masyarakat
masih enggan untuk memelihara ternak sapi karena ketersediaan sumber pakan yang
belum mencukupi, mereka cendrung menggunakan lahan yang mereka miliki untuk
bertani dan menghasilkan produk pangan nabati seperti padi dengan produk akhir
berupa beras sebagai makanan pokok dinegara Asia dibandingkan dengan memelihara
sapi. Disisi lain limbah yang dihasilkan pada saat pertanian belum dimanfaatkan
dengan baik, padahal limbah tersebut dapat dijadikan sebagai pakan bagi ternak
ruminansia, terutama sapi. Dilaporkan oleh Syamsu (2013) pengetahuan petani di
Kabupaten Pinrang (Indonesia) tentang pemanfaatan limbah pertanian (padi)
berupa jerami sebagai pakan ternak sapi sudah cukup baik yaitu sekitar 54,80%
tetapi penerapannya dilapangan masih sangat rendah yaitu 11,62%. Padahal jerami padi ini sangat berpotensi
untuk dijadikan sebagai pakan ternak apabila dilakukan pengolahan untuk
meningkatkan nilai nutrisinya.
Pengembangan bidang pertanian dan peternakan sangat penting untuk
dilakukan karena berperan dalam memproduksi makanan untuk kebutuhan hidup pokok
manusia dan mennunjang ketahanan pangan. Salah satu solusi untuk menjaga
ketahanan pangan adalah dengan mengambangkan pola sistem pertanian yang
terintegrasi dengan sistem peternakan.
Integrasi sistem
pertanian merupakan sistem yang mengkombinasikan berbagai spesies tanaman dan
ternak dan penerapan beraneka ragam teknologi untuk menjaga kelestarian
lingkungan, membantu petani dalam menjaga dan meningkatkan produktifitas lahan
dan meningkatkan pendapatan petani. Integrasi sistem pertanian dapat menjadi
solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam pengembangan pertanian
dan peternakan karena sistem ini memiliki banyak manfaat, keunggulan dan
keuntungan.
Di Indonesia integrasi
sistem pertanian sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an yang berdasarkan pada
hasil penelitian dan secara bertahap muncul istilah pola tanam, pola usaha
tani, sistem usaha tani dan akhirnya muncul istilah sistem tanaman-ternak (crop livestock sistem) (Mukhlis dkk,
2018). Sistem tanaman-ternak ini memiliki peluang yang besar untuk terus
dikembangkan baik pada wilayah dengan luasan lahan pertanian yang terbatas,
maupun didaerah dengan lahan pertanian yang luas dengan harapan mampu
meningkatkan produksi, populasi, produktifitas dan daya saing produk yang
dihasilkan. Pentingnya pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak didukung
oleh beberapa hasil penelitian di dunia. Di Vietnam, sistem integrasi
tanaman-ternak dalam pengembangannya dapat meningkatkan pendapatan empat kali
lebih banyak dibandingkan dengan sistem yang tidak terintegrasi. Di Jepang,
sistem integrasi tanaman-ternak bisa mengurangi biaya pembelian pakan ternak
dan biaya pupuk sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Di Timur Laut
Thailand, untuk menghentikan degradasi lahan dan mendapatkan kembali
produktivitas, para petani telah mengorganisir pertaniannya menjadi
kelompok-kelompok dengan sistem integrasi tanaman-ternak serta pemanfaatan limbah ternak sebagai sumber
nutrisi tanaman (pupuk organic) untuk meningkatkan
hasil panen dan mengurangi biaya produksi., Di Nepal, pengembangan sistem
integrasi tanaman-ternak menunjukkan analisis profitabilitas atau keuntungan. Di
Amerika Utara dapat meningkatkan diversifikasi produksi pertanian lebih
kompetitif dan lebih ramah lingkungan, meningkatkan kualitas tanah dan
efisiensi penggunaan lahan, mengurangi ketergantungan input eksternal,
mengendalikan, peningkatan output, menjaga ketahanan pangan dan peningkatan
perekonomian. Kemudian, di India
menunjukkan peningkatan pendapatan petani, mengurangi biaya input bahan dan di
Ethiopia, Zimbabwe, Mali dan Afrika Sub-Sahara, sistem integrasi tanaman-ternak
dapat mengurangi kemiskinan, meningkatkan mata pencaharian tanaman petani peternak
kecil dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional (Mukhlis dkk, 2018).
Salah satu penerapan
sistem tanaman-ternak adalah sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi
(sistem integrasi padi-sapi). Sistem integrasi padi-sapi telah menjadi bagian
budidaya bertani di Indonesia. Sistem ini mampu memanfaatkan sumber daya lokal,
yaitu bahan ikutan berupa jerami dan dedak serta kotoran ternak secara efisien
(Yuliani, 2014). Ciri utama sistem integrasi padi-sapi adalah adanya keterkaitan
antara tanaman dan ternak misalnya limbah tanaman seperti jerami digunakan
sebagai pakan ternak, begitupun kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk
organik untuk tanaman padi. Sistem ini mampu memberikan keuntungan dengan meningkatkan
produktifitas, mengurangi biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani.
Sistem integrasi padi-sapi juga merupakan solusi terhadap permasalahan pakan
sehingga dapat memperkuat ketahanan pangan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih
lanjut mengenai pola sistem integrasi padi-sapi sehingga pemanfaatan yang
diberikan dapat mencapai optimal.
Penulisan karya tulis ini menggunakan metode
studi pustaka yang bersumber dari beberapa jurnal international dan nasional
yang terakreditasi. Dalam tulisan karya tulis ilmiah ini akan dibahas mengenai definisi, concepts and research results from various
references that are relevant to the research purpose.konsep, model dan penerapan
teknologi serta beberapa hasil
penelitian yang berhubungan dengan pembahasan sistem integrasi
pertanian dan peternakan, dalam hal ini akan khusus membahas sitem integrasi
antara tanaman padi dengan peternakan sapi.
Integrated Farming Sistem / IFS merupakan sebuah
sistem yang menggabungkan bidang pertanian (tanaman) dengan bidang peternakan (ternak)
serta penerapan berbagai teknologi untuk menciptakan kondisi lingkungan yang
sesuai, menjaga produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani. IFS
adalah bagian dari sistem teknologi agroekonomi yang terdiri dari berbagai
komponen yang saling terkait. Integrasi sistem pertanian merupakan pendekatan
sistematis untuk menggunaan input yang rendah antara tanaman dengan ternak
(Mukhlis, 2014).
Model dari sistem ini dimulai dengan komponen
input yang terdiri dari input pertanian dan input peternakan untuk menghasilkan
komponen output. Model sistem integrasi padi-sapi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Model sistem integrasi padi-sapi
(sumber : Magsakay dkk, 2014)
Sistem integrasi padi-sapi menyediakan agregat
input yang terdiri dari bidang pertanian (padi) dan bidang peternakan (sapi). Padi
selain menghasilkan beras sebagai makanan pokok masyarakat Asia terutama
Indonesia juga menghasilkan jerami sebagai pakan sapi dan sisa-sisa jerami yang
dapat dikembalikan ke tanah untuk memperbaiki unsur hara tanah. Sedangkan sebagai gantinya, pupuk kandang yang
berasal dari kotoran sapi disebar kembali ke tanah untuk menyuburkan tanah dan
penyerapan unsur hara bagi tanaman padi.
Sistem integrasi padi-sapi juga merupakan sistem
yang didasarkan pada konsep biologi daur ulang, keterkaitan input-output dengan
penggunaan input eksternal yang rendah melalui pemanfaatan limbah pertanian dan
kotoran hewan untuk keperluan peningkatan produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani
dan dapat menciptakan kondisi pertanian ramah lingkungan. Konsep penting dari sistem ini adalah kegiatan
pertanian harus mendukung dan menguntungkan dengan kegiatan lainnya (Changkid,
2013).
Pemilihan padi dan sapi dalam usaha tani
didasarkan pada hubungan timbal balik dimana selain menghasilkan beras sebagai
makanan pokok masyarakat Asia, terutama Indonesia, produksi pasca panen dari
tanaman padi juga menyediakan jerami dan dedak padi untuk pakan sapi,
sebaliknya selain menghasilkan daging dan susu sebagai sumber protein hewani, sapi
juga menghasilkan kotoran yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik untuk
tanaman padi yang berperan dalam memperbaiki struktur tanah, mendorong penyerapan
air, menjaga kelembaban tanah, mengurangi daya serap, dan mencegah pengerasan pada
permukaan tanah (Mukhlis dkk, 2014).
Sistem integrasi padi-sapi dapat meningkatkan
keuntungan petani dibandingkan dengan usaha tani tunggal, karena dapat
menciptakan biaya produksi yang minimal dengan adanya pemanfaatan potensi
sumber daya lokal. Untuk memudahkan pemahaman tentang integrasi sistem
padi-sapi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Konsep integrasi sistem padi-sapi
Kegiatan sistem integrasi padi-sapi meliputi
input, proses, dan output yang berupa produk dan produk samping. Tahap input bidang
pertanian terdiri dari biji / benih, pupuk sebagai penyubur tanah utama,
air, dan pestisida seperti agro-kimia lainnya serta biaya tenaga kerja. Tanah akan
memproses input yang tersedia dan dengan demikian menghasilkan produk berupa padi,
jerami, rumput dan gulma, serta sisa jerami. Produk utama yang dihasilkan oleh
padi berupa beras. Dari pengolahan padi menjadi beras maka akan dihasilkan
dedak sebagai by-product yang dapat
dijadikan pakan ternak. Sedangkan limbah lainnya berupa jerami padi, rumput dan
gulma serta sisa-sisa jerami juga dapat dijadikan sebagai pakan ternak sapi.
Tahap input bidang peternakan terdiri dari
ternak, kandang, obat-obatan, pembibitan, biaya operasional dan pakan. Tanah
menampung input secara langsung dan tidak langsung. Produk utama dari input ini
adalah sapi dewasa dan anak sapi, serta pupuk kandang sebagai hasil sampingan. Sapi
memproduksi daging sebagai sumber protein hewani manusia dan dapat
dikembangbiakan kembali sedangkan produk sampingannya berupa kotoran sapi yang
dijadikan sebagai pupuk organik yang akan dikembalikan ke lahan
pertanian.Sebagai gantinya lahan pertanian ini akan menghasilkan produk
sampingan yang berguna sebagai pakan bagi ternak sapi.
Untuk mewujudkan prinsip
zero waste dalam sistem integrasi padi – sapi, maka dibutuhkan komponen
teknologi (Syamsu, 2013). Adapun teknologi yang dapat diterapkan adalah sebagai
berikut :
a.
Pemanfaatan produk sampingan tanaman padi (jerami) dengan
teknologi fermentasi sebagai pakan ternak
Kandungan protein yang
rendah dan tingkat silika serta lignin yang tinggi menjadi faktor pembatas
jerami padi sebagai pakan ternak karena tingkat kecernaannya masih rendah
(Oladosu dkk, 2016). Untuk meningkatkan nilai nutrisi dari jerami sebagai
alternative pakan ternak dalam integrasi sistem padi-sapi maka diperlukan
sebuah teknologi pengolahan, salah satunya adalah fermentasi. Perbandingan
kandungan nutrisi jerami fermentasi dan tanpa fermentasi menurut Syamsu dkk
(2013) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Perbandingan nutrisi jerami fermentasi dengan jerami tanpa fermentasi
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan
nutrisi jerami fermentasi lebih baik dibandingkan dengan tanpa fermentasi. Hal ini
dikarenakan selama periode fermentasi, ikatan lingo cellulose hemi cellulose longgar
oleh mikroba lignolitik dengan enzim lignose
yang dihasilkannya. Oleh karena itu dapat menurunkan kandungan selulosa dan
lignin dari jerami padi yang difermentasi. Sehingga dapat dimanfaatkan oleh
sapi sebagai sumber pakannya (Syamsu dkk, 2013). Teknologi fermentasi jerami
ini baik untuk diterapkan pada sistem integrasi padi-sapi.
b.
Pemanfaatan kotoran ternak dengan teknologi pembuatan pupuk kompos
Gas metana adalah salah satu gas rumah kaca yang
dapat menyebabkan pemanasan global. Gas
metana dapat berasal dari ternak ruminansia besar yang bersumber dari saluran
pencernaan dan kotoran ternak (Munandar dkk., 2015). Berdasarkan hasil
penimbangan kotoran ternak pada PT Taman Agrotechno, setiap sapi menghasilkan
6,5 kg - 9,07 kg atau rata-rata 7,724 kg / ekor / hari kotoran berupa feses. Jika kotoran dibiarkan terbuka dan ditumpuk di
bawah anaerob kondisi di mana tidak ada oksigen, pada suhu lebih tinggi dari 15°C,
bakteri metanogenik akan menghasilkan metana (Munandar dkk, 2015).
Untuk mengurangi gas metana yang berasal dari
kotoran ternak dapat dilakukan dengan penerapan teknologi pengomposan. Proses
pengomposan dapat menurunkan emisi gas metana hingga 8,92 g / kg pupuk kandang.
Pengomposan dapat mengurangi pembentukan gas metana dari kotoran ternak melalui
proses transisi teratur yang menganginkan dengan kondisi aerob (Mukhlis dkk,
2018).
Selain mengurangi emisi gas metana penggunaan pupuk
kompos memiliki banyak manfaat dalam meningkatkan unsur hara tanaman, seperti
memperbaiki stuktur tanah, mendorong penyerapan air, mengurangi daya serap dan
mencegah pengerasan pada permukaan tanah (Mukhlis dkk, 2018). Sehingga lahan
pertanian untuk menanam padi menjadi lebih baik dan hasil panen menjadi lebih
meningkat.
Oleh karena itu teknologi pengolahan kotoran
ternak menjadi pupuk kompos sangat baik dilakukan untuk sistem integrasi padi
- sapi.
Menurut Changkid (2013) manfaat dari sistem
integrasi adalah untuk mengurangi risiko perubahan iklim, mengurangi risiko
tidak stabilnya harga produk, untuk mencegah kerusakan lahan / tanaman dari
serangga atau hama, memperluas lapangan kerja, mengurangi polusi yang
diakibatkan karena penggunaan dan ketergantungan pupuk anorganik, menjaga
ketahanan pangan serta meningkatkan pendapatan petani.
Menurut
hasil penelitian Mukhlis dkk (2018) penerapan teknologi integrasi ternak sapi dengan
tanaman padi dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar adalah Rp34.488.800
lebih tinggi dari pada pola tradisional yaitu sebesar Rp22.903.200. Berdasarkan
analisis rasio R/C, nilai nya adalah 6, nilai ini lebih tinggi dari pola
tradisional dengan nilai 4. Keadaan ini menunjukkan bahwa penerapan sistem
integrasi padi-sapi layak untuk dibudidayakan.
Sedangkan hasil
penelitian Magsakay dkk (2014) rata-rata pendapatan bersih dan pengeluaran
petani di provinsi Bulacan (Filiphina) menggunakan integrasi sistem padi-sapi
dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa
pengeluaran untuk biaya pertanian (padi) lebih kurang tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan peternakan sapi, sedangkan untuk pendapatan bersih
rata-rata hampir sama diantara bidang pertanian dan peternakan. Apabila dalam pemeliharaannya
dilakukan sistem integrasi padi-sapi, maka didapatkan jumlah laba bersih
diantara kedua bidang tersebut sekitar 1.238,15 USD dibandingkan hanya memilih
sistem pertanian dan peternakan tunggal yaitu 614,94 USD untuk pertanian
tunggal dan 623,21 untuk peternakan tunggal.
Tabel 1. Pendapatan dan pengeluaran rata - rata tahunan untuk integrasi
sistem padi-sapi.
Di antara pengeluaran yang tercantum,
pengeluaran terbesar pada bidang pertanian ada pada biaya operasional, biaya agrochemical
dan biaya benih. Untuk bidang peternakan biaya input berurutan adalah biaya pembelian
ternak, biaya pakan, biaya operasional, perkandangan, pembibitan dan
obat-obatan.
Dengan pola sistem integrasi padi-sapi akan
mengurangi biaya agro-chemical karena penggunaan pupuk anorganik dapat
digantikan dengan pupuk organik yang dihasilkan dari kotoran sapi. Sedangkan
untuk biaya pakan sapi dengan sistem integrasi padi-sapi akan berkurang, hal
ini dikarenakan adanya pemanfaatan limbah pertanian (jerami dan dedak) yang
dapat dijakdikan sebagai pakan sapi.
Manajemen pertanian dengan sistem integrasi dalam
skala yang lebih besar dapat menghemat penggunaan input dan meningkatan hasil produksi
(beras) sebesar 17,7% dengan keuntungan sebesar 15,6% sehingga memiliki dampak positif terhadap
pembangunan daerah (Mukhlis dkk,. 2018). Semakin lama menerapkan sistem
integrasi padi-sapi maka semakin meningkatkan hasil produksi dan keuntungan
dibandingkan dengan penerapan sistem pertanian tunggal yang sering menghadapi risiko karena pendapatan pertanian yang
berfluktuasi dan ketergantungan dengan kondisi cuaca (Changkid, 2013). Integrasi sistem
padi-sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah, kualitas air dan udara serta
menciptakan keseimbangan lingkungan.
Hasil penelitian Mukhlis dkk (2018) produksi
beras dari tanaman padi pola integrasi sistem padi-sapi ini dapat meningkat
dari 4,86 menjadi 5,36 ton / ha, (10,29%) dan mengurangi penggunaan pupuk
anorganik sebesar 53,33%. Penurunan penggunaan pupuk anorganik, seperti pupuk urea
menurun hingga 100 kg / ha (N 57,14%), pupuk SP-36 menurun hingga 50 kg / ha
(50%) dan penggunaan KCl menurun hingga 50 kg / ha (50%).
Sedangkan untuk
peternakan sapi terjadi peningkatan bobot badan. Rata-rata kenaikan berat badan
harian adalah 790 gr / ternak / hari, sedangkan pola pemeliharaan tradisional
hanya 320 gr / ekor /. Rasio C / N dari kotoran untuk pembuatan kompos adalah
19,03%. Rata-rata pupuk organik yang dihasilkan adalah 4 kg / ekor setiap hari
dan jerami padi yang dihasilkan adalah 7,26 ton / ha / musim (Mukhlis dkk.
2018). Pendapatan petani dengan sistem pertanian terintegrasi mencapai Rp.
9.086.867 untuk 1 ha lahan dan 2 ekor sapi atau Rp. 4.543.433 untuk 1 ha lahan
dan 1 ekor sapi dengan rasio R / C 1,56. Petani dapat memperoleh beberapa manfaat karena penggunaan pupuk kandang
dapat meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi (Mukhlis dkk, 2018).
Di Thailand petani yang menggunakan
sistem integrasi dapat meningkatkan pendapatan mereka, mereka memperoleh
sekitar 2.140 Baht per rai per bulan sedangkan penghasilan yang
tidak menggunakan sistem integrasi hanya 252 Baht per rai per bulan.
Keuntungan dari peternakan tradisional untuk
penggemukan sapi potong adalah Rp. 611.250 / ekor / tahun, budidaya padi memberikan
keuntungan sebesar Rp. 12.745.000 / ha / tahun. Sementara keuntungan yang
diperoleh dari pertanian terintegrasi terdiri dari: keuntungan penggemukan sapi
potong Rp 3.477.380 / ekor / tahun. keuntungan
budidaya tanaman padi Rp 90.517.250 / ha / tahun. Efisiensi biaya yang dicapai
untuk pertanian terintegrasi adalah 1,49 sedangkan efisiensi biaya bisnis
tunggal hanya 1,16. Kondisi ini menunjukkan bahwa sapi potong yang terintegrasi
dengan tanaman padi lebih banyak menguntungkan dan lebih efisien dari pada
pertanian tunggal/tradisional (Mukhlis dkk,. 2018).
Integrasi sistem
padi-sapi dapat mengembalikan bahan organik ke tanah (dari pupuk organik) dapat
meningkatkan fiksasi CO2 didalam tanah dalam bentuk bahan organik
tanah. Meningkatnya kadar C pada tanah berdampak positif terhadap kesuburan
tanah, produksi benih, dan tanaman biomassa (Mukhlis dkk, 2018).
Pengolahan kotoran sapi
menjadi pupuk kompos dapat mengurangi pembentukan gas metana dari kotoran
ternak melalui proses transisi teratur yang menganginkan dengan kondisi aerob.
Pupuk organik yang dihasilkan dapat menyimpan karbon lebih lama dan memperlambat pembentukan
C organik menjadi CO2. Penggunaan pupuk kompos adalah alternatif teknologi
yang direkomendasikan untuk meningkatkan kualitas tanah dan hasil panen
agronomis. Peningkatan 1 ton C organik di tanah di sekitar zona akar akan dapat
meningkatkan produksi padi 0-50 kg / ha. Efek nyata dari peningkatan C organik
adalah meningkatkan ketersediaan nutrisi tanah, berkontribusi pada pasokan N,
P, dan nutrisi mikro serta peningkatan kation kapasitas tukar tanah (Munandar
dkk., 2015).
Kompos dan sisa
tanaman mengandung 40% -60% Ccarbon (Jarecki & Lal, 2003);CCCCCCCC. therefore, the applicationOleh karena itu, aplikasi of the two materials would not only increase
the carbondari dua bahan ini tidak hanya
akan meningkatkan C content in
the soil, but also indirectly fix CO2 in the soil. dalam tanah, tetapi juga secara tidak langsung
memperbaiki CO2 di tanah. Penerapan organic fertilizer for 23 yr would increase
soil organicpupuk organik selama 23 tahun akan meningkatkan kC content from 12.1 tons/ha to 15.46 tons/ha, while theadar C dari
12,1 ton / ha menjadi 15,46 ton / ha. Semakin banyak
bahan organik yang terkandung di dalam tanah, maka semakin
meningkatkan produktif tanah. Hasil
penelitian menunjukkan peningkatan The soil
organic C increasedC organik sebesar 5.12 tons/ha/yr and the seeds production increased5,12 ton / ha /
tahun akan meningkatkan produksi benih sebesar 0.76 tons/ha.0,76 ton / ha. In other
words, an increase of 1 ton/ha ofDengan kata lain, peningkatan 1 ton /
ha organic C was followed by an
increase of 150 kg of seedC organik akan diikuti oleh
peningkatan 150 kg benih tanaman (Munandar dkk., 2015). Teknologi
untuk pemanfaatan kotoran ternak dalam sistem integrasi padi-sapi dapat
dilakukan dengan pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk kompos. Pengolahan
kotoran ternak menjadi kompos dapat mengatasi mitigasi gas metana ke atmosfer. Pengelolaan kotoran
ternak dapat mengurangi 70% dari metana emisi ke atmosfer. production.Studi ini menunjukkan bahwa penerapan sistem integrasi pertanian dapat menjadi solusi alternatif untuk menjaga
perubahan iklim akibat mitigasi (Mukhlis dkk, 2018).
Integrasi sistem
pertanian merupakan sistem yang mengkombinasikan berbagai spesies tanaman dan
ternak dengan penerapan berbagai teknologi penunjang. Integrasi sistem
pertanian sangat baik diterapkan menimbang banyaknya manfaat dan keuntungan
yang didapat seperti membantu petani menjaga produktifitas lahan dan
meningkatkan pendapatan petani. Salah satu penerapan dari sistem integrasi
pertanian adalah sistem integrasi padi-sapi.
Sistem integrasi
padi-sapi merupakan strategi yang sangat penting untuk mewujudkan usaha tani
yang ramah lingkungan, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat
sekitar. Sistem ini dapat memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan
dengan meghasilkan produk pangan yang sehat dan mencukupi kebutuhan. Prinsip
dari sistem integrasi padi-sapi ini adalah dengan menerapkan konsep zero waste yaitu dengan memanfaatkan
sumber daya lokal seperti jerami, padi, dedak dan kotoran ternak secara
esfisien.
Implementasi dari sistem
integrasi padi-sapi dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik, mengurangi
biaya produksi, dan dapat meningkatkan pendapatan petani padi dan pendapatan
bisnis ternak. Kemudian, juga dapat meningkatkan kesuburan tanah, kualitas air
dan udara, dan menjadi solusi untuk mengatasi perubahan iklim akibat mitigasi.
Untuk memperoleh manfaat
yang optimal dalam sistem integrasi padi-sapi ini diperlukan beberapa teknologi
sebagai penunjang. Seperti teknologi fermentasi jerami untuk meningkatkan nilai
nutrisi jerami sebagai pakan ternak dan teknologi pengolahan kotoran ternak
menjadi pupuk kompos yang dapat memperbaiki unsur hara tanah dan mengurangi
emisi gas metana. Sistem integrasi padi-sapi merupakan usaha tani yang efisien dan
dinilai efektif untuk meningkatkan pendapatan petani dan menjaga ketahanan
pangan nasional.
Magsakay,
E., N. G. Jimenez and E.P. Dadios. 2014. Sustainable Rice-Cattle Integrated
Farming System for Small Landholders in the Province of Bulacan. International
Conference on Food and Agricultural Sciences. 77 (5).
Mukhlis,
M. Noer, Nofialdi, and Mahdi. 2018. The Integrated Farming System of Crop and
Livestock: A Review of Rice and Cattle Integration Farming. International
Journal of Sciences: Basic and Applied Research. 42 (3) : 68-82
Munandar,
F. Gustiar, Yakup, R. Hayati, and A. I. Munawar. 2015. Crop-Cattle Integrated
Farming System: An Alternative of Climatic Change Mitigation. Media Peternakan 38
(2) : 95-103
Oladosu,
Y., M.Y. Rafli., N. Abdullah., U. Magaji., G. Hussin., A. Ramli and G. Mia.
2016. Fermentation Quality and Additives: A Case of Rice Straw Silage. Hindawi
Publishing Corporation.
Syamsu,
J. A. H. M. Ali, and M. Yusuf. 2013. Application of Technology for Processing
Rice Straw as Feed for Beef Cattle. International Conference on Agriculture and
Biotechnology. Singapore
Yuliani,
Dini. 2014. Sistem Integrasi Padi Ternak untuk Mewujudkan Kedaulatan Pagan.
Jurnal Agroteknologi. 4 (2) : 15-26.